Sunday 17 March 2013

Notes About Doctor : Don't Forget The Others (COPAS)


spesial untuk kalian terutama para calon dokter

Riri, aku saat ini sedang kuliah semester akhir di sebuah universitas  negeri. Aku kuliah disebuah jurusan yang cukup favorit, yaitu jurusan  Kedokteran. Sebuah jurusan – yang aku yakini – dapat membuat hidupku lebih baik di masa mendatang.
 Bukan kehidupan yang hanya untukku, tetapi juga buat keluargaku yang telah susah payah mengumpulkan uang agar aku dapat meneruskan dan meluluskan kuliahku. Kakakku juga rela untuk tidak menikah tahun ini, karena ia harus menyisihkan sebagian gajinya untuk membiayai tugas akhir dan biaya-biaya laboratoriumku yang cukup tinggi.
  Hari ini adalah hari ujian semesteranku. Mata kuliah ini diampu oleh dosen yang cukup unik, dia ingin memberikanpertanyaan-pertanyaan ujian secara lisan. “Agar aku bisa dekat dengan mahasiswa.” katanya beberapa waktu lalu.
Satu per satu pertanyaan pun dia  lontarkan, kami para mahasiswa berusaha menjawab pertanyaan itu semampu  mungkin dalam kertas ujian kami. Ketakutanku terjawab hari ini, 9 pertanyaan yang dilontarkannya lumayan mudah untuk dijawab. Jawaban demi jawaban pun dengan lancar aku tulis di lembar jawabku.
 Tinggal pertanyaan ke-10. “Ini pertanyaan terakhir.” kata dosen itu.
“Coba tuliskan nama ibu tua yang setia membersihkan ruangan ini, bahkan seluruh ruangan di gedung Jurusan ini !” katanya.
  Seluruh ruangan pun tersenyum. Mungkin mereka menyangka ini hanya gurauan, jelas pertanyaan ini tidak ada  hubungannya dengan mata kuliah yang sedang diujikan kali ini.

  “Ini serius !” lanjut Pak Dosen yang sudah agak tua itu dengan tegas. “Kalau tidak tahu mending dikosongkan aja, jangan suka mengarang nama orang Aku tahu ibu tua itu, dia mungkin juga satu-satunya cleaning service di gedung jurusan kedokteran ini. Aku tahu dia, orangnya agak pendek, rambut putih yang selalu digelung, dan ia selalu ramah serta amat sopan dengan mahasiswa-mahasiswa di sini. Ia  selalu menundukkan kepalanya saat melewati kerumunan mahasiswa yang sedang nongkrong. Tapi satu hal yang membuatku konyol.. aku tidak tahu namanya ! dan dengan terpaksa aku memberi jawaban  ‘kosong’ pada pertanyaan ke-10 ini.
 Ujian pun berakhir, satu per satu lembar jawaban pun dikumpulkan ke tangan dosen itu. Sambil menyodorkan kertas jawaban, aku memberanikan bertanya kepadanya kenapa ia memberi ‘pertanyaan aneh’ itu, serta seberapa pentingkah pertanyaan itu dalam ujian kali ini.
“Justru ini adalah pertanyaan terpenting  dalam ujian kali ini” katanya. Beberapa mahasiswa pun ikut  memperhatikan ketika dosen itu berbicara.
  “Pertanyaan ini memiliki bobot tertinggi dari pada 9 pertanyaan yang lainnya, jika anda tidak mampu menjawabnya, sudah pasti nilai anda hanya C atau D !”
Semua berdecak, aku bertanya kepadanya lagi, “Kenapa Pak ?”
Kata dosen itu sambil tersenyum, “Hanya yang peduli pada orang-orang sekitarnya saja yang pantas jadi dokter.”
Ia lalu pergi membawa tumpukan kertas-kertas jawaban ujian itu



Jangan sombong ya

Membaca sebuah artikel di kompasiana sore ini sebelum buka puasa, saya tersentak. Cerita seorang pengunjung rumah sakit di Jogja melaporkan betapa buruknya perilaku para calon dokter muda di rumah sakit itu. Judulnya sangat provokatif, ” Para Calon Dokter Itu Sombong Sekali” (Bisa dibaca disini). Kata sang penulis mereka cuma lalu lalang seperti tak punya kerjaan, dengan sikap jumawa sambil asyik memainkan gadget-gadget canggih mereka, tidak perduli dengan keadaan pasien disekitarannya. Membacanya saya merasa harus mengurut dada dengan lemas. Apa yang saya bayangkan adalah sekumpulan orang yang bangga dengan jas putih nya, mondar-mandir seperti barongsai. Sambil jemarinya sibuk memencet-mencet smartphone, blackberry dan semacamnya. Saya berprasangka baik saja bahwa mereka sedang sibuk membaca literature dari perangkat telekomunikasi canggih itu. Mudah-mudahan tidak sebaliknya malah sibuk berhaha-hihi, twitteran atau fesbukan dihadapan pasien yang mungkin saat itu butuh bantuan dan pertolongan.
Lalu saya teringat seorang dokter Belanda yang kebetulan selama 6 bulan pernah berinteraksi bersama saya di Sumba. Kini ia telah kembali ke negerinya. Seorang dokter perempuan yang menyenangkan dengan segala sikap keterbukaannya. Kebetulan saat itu ia sedang meneliti “angiogenic factor” yang berperan dalam kejadian malaria. Topik yang jika ia jelaskannya kepada saya, saya merasa harus memasang konsentrasi 200% ditambah kening berkerut berusaha memahami topik menarik itu dengan susah payah. Ia seorang dokter spesialis penyakit dalam, sub spesialis penyakit tropis. Di belanda ia bekerja di salah satu rumah sakit pendidikan sebagai konsultan penyakit tropis.
Kami sering berbincang jika ada waktu di beranda laboratorium saat ia berkunjung, atau sesaat setelah nonton bareng piala dunia beberapa saat yang lalu. Utamanya jika Belanda yang main saat itu. Mungkin seperti kebanyakan orang Belanda, ia sangat terbuka dan selalu ” to the point” menilai sesuatu. Kebetulan juga penelitiannya dilakukan di sebuah rumah sakit di Sumba, walaupun ia tidak melayani pasien karena tak punya izin.

Suatu ketika ia bertanya pada saya. Apa sih yang menjadi motivasi seseorang menjadi dokter di Indonesia? Saya bingung, kok dia menanyakan pertanyaan semacam itu. Mungkin karena saya terdiam agak lama, dia kemudian menceritakan unek-uneknya melihat banyak hal yang mengelisahkan dirumah sakit tempatnya meneliti, terkait prilaku beberapa dokternya. Menurutnya beberapa orang dokter berprilaku sangat mengenaskan. Miskin senyum dan minim perhatian pada pasien. Bahkan beberapa saat sebelumnya ia menemukan seorang pasien yang meninggal dunia disana, keluarganya sangat bersedih namun tak satupun dari dokter itu yang datang memberikan penghiburan. Sama sekali tak punya empati katanya. Di belanda, dia akan menjamin bahwa dokter semacam ini pasti sudah lama dipecat. Waduh, untungnya di tempat itu tak ada alumni UNHAS, tapi tetap saja ia membuat saya linglung dengan segala keterbukaannya itu, seperti dirotan pas di otak kecil.

Apakah orang masuk kedokteran disini cuma karena ingin kaya atau karena status? Tanyanya lagi. Saya lagi-lagi tak berani menjawabnya. Mengatakan tidak seperti itu, takut malah hal itu yang paling banyak memotivasi orang tua memasukkan anaknya bersekolah di kedokteran, walaupun kemampuan sang anak pas-pasan saja dan mereka harus membayar sangat mahal. Pokoknya barusan malam itu saya yang biasanya cerewet tiba-tiba menjadi kalem secara mendadak. Lalu dia membandingkan lagi keadaan disini dengan di negerinya. Katanya profesi dokter disana sungguh suatu profesi yang susah dan penuh resiko. Orang yang betul-betul ingin menjadi dokter adalah mereka yang terpanggil. Punya kecerdasan, dan juga sensitifitas kemanusiaan kepada penderitaan orang lain. Kalau cuma sekedar ingin kaya katanya, di negerinya orang akan memilih menjadi pengacara atau pebisnis saja.

Sungguh malam itu saya cuma bisa termangu. Mencoba mencari pembelaan yang tak juga saya dapatkan. Ingin mengatakan bahwa tak semua dokter semacam itu, namun susahnya kadang-kadang pengalaman buruk yang dialami seseorang, membuat mereka sering menggeneralisir seolah seluruh dokter berperilaku semacam itu. Saya berterima kasih padanya atas keterusterangannya yang membuat saya tertohok dan berkata, kebetulan saya dosen kedokteran. Apa yang anda ceritakan malam ini akan saya sampaikan lagi pada mahasiswa saya, mudah-mudahan mereka suatu saat nanti jika telah menjadi dokter, tidak berprilaku yang sama. Saya me-link artikel yang ditulis di kompasiana itu sesungguhnya berharap dua hal. Pertama, mudah-mudahan ini bisa menjadi pelajaran agar adek-adekku para calon dokter betul-betul sadar bahwa profesi ini adalah sesuatu yang “sacred”. Orang tidak seharusnya bermain-main di dalamnya karenaia terkait dengan sesuatu yang sangat penting, tentang hidup dan mati seseorang. Seseorang yang kita kenal sebagai manusia dalam pemaknaannya yang paling utuh. Dalam profesi ini dibutuhkan tidak hanya kecerdasan dan skill yang mumpuni, namun juga kemampuan untuk membangun empati terhadap pasien dan kesediaan memperlakukan mereka sebagai sungguh-sungguh manusia. Bukan semata orang sakit.

Kadang-kadang saya risih juga dengan banyak update-an status di FB dari kalangan adek-adek mahasiswa kedokteran yang menceritakan pasien-pasiennya secara vulgar atau mengupload foto-foto pasien yang mungkin sedang meringis kesakitan. Bahkan saya pernah geleng-geleng kepala ketika ada yang mengupload foto pada saat melakukan sirkumsisi sambil berpose dengan bangganya, atau beberapa orang lagi saat sedang berada dalam kamar operasi menatap kamera sambil senyam-senyum. Saya tahu persis bahwa para teman sejawat itu paham dan mengerti dengan sesuatu yang kita sebut sebagai “rahasia pasien”. Saya berprasangka baik saja bahwa saat itu mungkin mereka lupa, bahwa ada hal-hal dalam profesi ini yang tidak seharusnya diumbar secara vulgar begitu rupa kepada khalayak.

Kedua, ini merupakan pelajaran berharga bahwa masyarakat kita semakin hari semakin cerdas. Prilaku buruk profesi yang sempat di potret masyarakat akan sangat mudah menyebar seperti wabah saat ini. Tak butuh banyak contoh buruk, cukup satu dua saja dan ketika di “blow up” di media semacam blog, atau jejaring sosial lainnya maka seketika citra profesi kita sebagai mahasiswa kedokteran atau dokter bisa jadi ternodai. Saya percaya, teman-teman koas yang lebih care di rumah sakit yang ditulis dalam artikel diatas tidak kalah banyaknya, tapi beberapa orang yang dianggap berprilaku buruk saja sudah cukup memberikan citra yang sungguh tak sedap.

Adakah yang bisa melawan kekuatan media yang telah bersenyawa dengan kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi hari ini? Apa yang ditulis dan diposting di kompasiana diatas adalah sebuah bukti ampuhnya “citizen journalism”. Bisa jadi hal-hal semacam ini tidak akan pernah ditangkap oleh para wartawan sungguhan, tapi jangan pernah mengabaikan kemampuan warga untuk menjadi jurnalis dan mendisseminasikan berita dengan sangat cepat lewat perangkat telekomunikasi canggih yang sudah begitu mudah diakses hari ini. Akhirnya dari Sumba dengan segala cinta, saya berharap kita bersama bisa menjaga profesi ini. Apa yang diulas artikel itu bukan tentang institusi, tapi lebih sebagai pengingat untuk para mahasiswa kedokteran dimana pun mereka berada. Masyarakat kini melihat dan menilai apa yang kita lakukan. Mungkin baiknya berhati-hati bersikap dan berprilaku di ruang-ruang publik. Semoga di kampus kita tercinta, di rumah sakit yang kita gunakan belajar, tidak akan terjadi hal yang seperti itu. Maaf jika ada salah-salah kata.
Bismillaahirrahmaanirrahiim, semoga selalu teringat :’)


LALU, BUAT APA KITA JADI DOKTER ?

1. Jika Anda ingin menjadi dokter untuk bisa kaya raya, maka segeralah kemasi barang-barang Anda.Mungkin fakultas ekonomi lebih tepat untuk mendidik anda menjadi businessman bergelimang rupiah.Daripada Anda harus mengorbankan pasien dan keluarga Anda sendiri demi mengejar kekayaan.

2. Jika Anda ingin menjadi dokter untuk mendapatkan kedudukan sosial tinggi di masyarakat, dipuja dan didewakan, maka silahkan kembali ke Mesir ribuan  tahun yang lalu dan jadilah fir’aun di sana. Daripada Anda di sini harus menjadi
arogan dan merendahkan orang lain di sekitar Anda hanya agar Anda terkesan
paling berharga.

3. Jika Anda ingin menjadi dokter untuk memudahkan mencari jodoh atau menarik perhatian calon mertua, mungkin lebih baik Anda mencari agency selebritis yang akan mengorbitkan Anda sehingga menjadi artis pujaan para wanita/pria, daripada Anda bersembunyi di balik topeng klimis dan jas putih necis,sementara Anda alpa dari makna dokter yang sesungguhnya.Dokter tidak diciptakan untuk itu, kawan.

4. Memilih menjadi dokter bukan sekadar agar bisa bergaya dengan BMW keluaran terbaru, bukan sekadar bisa terihat tampan dengan jas putih kebanggaan,bukan sekadar agar para tetangga terbungkuk-bungkuk hormat melihat kita lewat.

5. Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengabdian. Mengabdi pada masyarakat yang masih akrab dengan busung lapar dan gizi buruk. Mengabdi  pada masyarakat yang masih sering mengunjungi dukun ketika anaknya demam tinggi.

6. Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan empati, ketika dengan lembut kita merangkul dan menguatkan seorang bapak tua yang baru saja kehilangan anaknya karena malaria.

7. Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kemanusiaan, ketika kita
tergerak mengabdikan diri dalam tim medis penanggulangan bencana dengan bayaran cuma-cuma.

8. Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kepedulian, saat kita terpaku dalam sujud-sujud panjang, mendoakan kesembuhan dan kebahagiaan pasien-pasien kita.

9. Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan berbagi, ketika seorang tukang
becak menangis di depan kita karena tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit anaknya yang terkena demam berdarah. Lalu dengan senyum terindah yang pernah disaksikan dunia, kita menepuk bahunya dan berkata, “jangan menangis lagi, pak, Insya Allah saya bantu pembayarannya.”

10. Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan kasih sayang, ketika dengan sepenuh cinta kita mengusap lembut rambut seorang anak dengan leukemia dan berbisik lembut di telinganya,”dik, mau diceritain dongeng nggak sama oom dokter?”

11. Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan ketegasan, ketika sebuah perusahaan farmasi menjanjikan komisi besar untuk target penjualan obat-obatnya, lalu dengan tetap tersenyum kita mantap berkata, “maaf, saya tidak mungkin mengkhianati pasien dan hati nurani saya”.


12. Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengorbanan, saat tengah malam tetangga dari kampung sebelah dengan panik mengetuk pintu rumah kita karena anaknya demam dan kejang-kejang. Lalu dengan ikhlas kita beranjak meninggalkan hangatnya peraduan menembus pekat dan dinginnya malam.

13. Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan terjal lagi mendaki untuk meraih cita-cita kita. Bukan, bukan kekayaan atau penghormatan manusia yang kita cari. Tapi ridha Allah lah yang senantiasa kita perjuangkan.

Yah, memilih menjadi dokter adalah memilih jalan menuju surga, tempat di
mana dokter sudah tidak lagi perlu ada…

NB :
Ini bukan provokasi untuk menjadi dokter miskin, bukan juga mengatakan bahwa dokter tidak perlu penghormatan atau hal-hal duniawi lainnya. Tulisan ini
hanya sekadar sebuah nasihat untuk diri sendiri dan rekan sejawat semua untuk meluruskan kembali niat kita dalam menjadi seorang dokter. Karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Silakan menjadi kaya, silakan menjadi
terhormat, asal jangan itu yang menjadi tujuan kita. Dokter terlalu rendah
jika diniatkan hanya untuk keuntungan duniawi semata. Mungkin akan sangat
susah untuk menggenggam erat idealisme ini nantinya. Namun saya yakin, jika
ada kemauan yang kuat dan niat yang tepat, idealisme ini akan terbawa sampai
mati. Walaupun harus sendirian dalam memperjuangkannya, walaupun banyak yang mencemooh dan merendahkan. Saya yakin, Tuhan tidak akan pernah salah menilai setiap usaha dan perjuangan hamba-hamba- Nya. Tidak akan pernah.

berdasarkan catatan dari:
Aditya Putra Priyahita,
seorang yang sangat merindukan sebuah reuni anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di surga nanti. Aamiin.

No comments:

Post a Comment